Minggu, 08 Mei 2011

Negeri Terkutuk (Sebuah refleksi akhir tahun, bergantinya tahun ke-22 menuju-23)

 Melepasnya dari belenggu keter-asing-an dalam sebuah negeri yang terkutuk


Negeri Terkutuk

Embun pagi menatapku senyum, merebahkan tubuhnya lahan-perlahan menemani gemulai pandangku ke jalan-jalan, termenung dalam satu refleksi kehidupan.

Kesegaran suasana kuhadapi pagi ini, mendinginkan pikiran-pikiran yang bersuhu cukup tinggi malam tadi. Esensi kehidupan yang menjadi tujuanku seakan hilang dan deru angin malam tak lagi menyapaku bernadi.

Ruang hampa dalam jiwa terasa begitu nyata dan setiap dinding-dinding ruang berdetak bernyali, mempertanyakan diri siapakah bergumam ini dan kemanakah tujuan nafas pinjaman ini?

Tirai masa depan masih tertutup rapat menemani kesendirianku. Mencari suapan  ilmu arah per arah memaksaku sabar sebagai tuntunan. Embun masih berlinang menemani lepas pandangku menatap apa yang dapat kuberikan pada sebuah bangsa sambil memandang anak-anak kampung mengayuh sepeda kumbang menuju sekolah.

Suara televisi pun terdengar jernih di telingaku. Sebuah kenakalan anak bangsa kurasa itu topiknya, Berita-berita beterbangan bagai dedaunan yang gugur di tengah rasa yang tak dapat bergeliat subuh ini. Jarak pandangku semakin terarah ke bawah menatap bumi tepat di bawah kaki-kakiku.

Semakin tajam titik pandangku terhadap bumi tempatku berpijak, menyapanya berdalih, "belum cukup aku berikan apa yang seharusnya aku berikan untuk rakyat, melepasnya dari belenggu keter-asing-an dalam sebuah negeri yang terkutuk".



fitrah el-fairuz
Pare, 2 jam menuju 8 Mei

Tidak ada komentar: