Jumat, 27 November 2009

Surat

Surat Pertamaku Untukmu: Telaga Yang Menyejukkan

 

Sekiranya semua yang ada dalam pikiran, perasaan, dan imajinasiku tentangmu hendak kutuliskan, niscaya yang terjadi hanyalah kemuskilan. Demikianlah yang nyata di kedalaman rasa dan sejauh mata kita memandang, meski tetap dan tetap menjadi ilusi dalam sekumpulan kata dan tumpukan kalimat. Kusadari semua itu karena memang cinta benar-benar tak terungkapkan dengan kata-kata. Ia jauh bahkan sangat jauh dari pemikiran, tapi lebih nyata dari dunia serta isinya. Andaikan berbagai rasa tak bergumul dan pikiran tak memercik naik, mungkin hanya setitik cinta yang terkatakan. Ia akan hadir dalam lapisan dan pancaran-pancaran cahaya yang cukup hanya ditafsirkan oleh kalbu dan bukan oleh kata-kata. Sudah seperti lukisan yang tergantung di dinding kesadaranku: aku menyelinap dan mengendap-ngendap menuju bilik dimana lukisan itu tergantung. Lukisan itu mengajariku bagaimana cara berdiam dan sekali waktu mengejekku, bagaimana cara menjadi orang gila. Ia teramat kokoh, kuat dan agung melebihi keagunganku dan keagunganmu, bahkan melebihi apa yang tidak bisa kita jumpai dalam mimpi sekalipun.

 

Aku memulai ini dengan satu harapan: semoga saat ini engkau memiliki cukup banyak kasih sayang di kedalaman hatimu untuk mencintai kehidupanmu dan kehidupan banyak orang, apapun keadaannya. Karena hanya kekuatan itulah yang sanggup menyumberkan keajaiban pada diri anak manusia. Dengannya engkau akan meyakini bahwa hidup sungguh-sungguh berarti dan memberi begitu banyak makna, dan karenanya pula engkau akan memiliki cukup banyak alasan untuk melanjutkan kehidupan dengan secercah kebahagiaan dan pengharapan dalam kehamilan.

 

Bayangkanlah! Seakan-akan saat ini engkau berada di tengah-tengah padang ilalang yang luas di senja hari. Engka sendirian. Benar-benar sendiri! Engkau lihat matahari itu: teduh dan tenang dalam paduan warna yang menyiratkan keharuan dan ketidakabadian. Indah, tapi sejenak saja engkau menunggu, dia segera akan tenggelam. Dan burung-burung itu, beterbangan dalam kesuraman mengusung ritme suara yang menggambarkan mimpi-mimpi indah atau kesadaran yang menggelisahkan. Kian senyap! Seperti ilalang yang terdiam dalam kesuraman senja, tanyailah dirimu, apakah hidup ini sungguh-sungguh berarti? Dan apakah sanggup memeri arti baginya? Renungkanlah! Sebelum engkau kuajak melakukan perjalanan panjang bersamaku. Baiklah kuanggap engkau telah merenungkannya dan mendapatkan seberkas cahaya yang engkau yakini bisa membawa kepada makna. Kini aku ingin mengajakmu melihat telaga yang tidak setiap hari engkau bisa melihatnya. Meskipun sebenarnya ia begitu dekat dari hidupmu, lebih dekat dari apapun dan siapa pun. Nah, di sana itu telaganya, mari kita percepat langkah, aku tidak sabarlagi untuk menunjukkan kesejukannya padamu. Inilah telaganya. Indah bukan! Lihat itu, airnya sungguh bening menampakkan dasar telaga. Juga ikan-ikan itu, seperti berada di dalam kaca. Matahari, bulan, dan apa pun yang menatap wajah telaga ini, akan melihat wajahnya sendiri. Telaga ini memang indah, jernih, sejernih kepolosan tatapan anak-anak, dan seindah impiannya yang muncul dari dongeng malam seorang ibu. Telaga yang menyejukkan, seperti itulah aku menamainya, seakan-akan aku sendirilah yang melahirkannya. Nah, apa yang ada dalam benakmu kalau ternyata telaga yang menyejukkan ini adalah dirimu?

 

Ah! Tidak! Aku tidak seperti apa yang ada di dalam pikiran dan perasaanmu? Barangkali itulah yang akan mengalir dalam bibirmu. Aku yakin engkau sependapat bahwa rasa memiliki bahasanya sendiri. Kita memiliki banyak hal yang membuat biasa menjadi luar biasa, yang luar biasa menjadi mengagumkan, dan yang mengagumkan menjadi kewarasan yang sungguh-sungguh waras hingga menyentuh dinding-dinding spiritual, atau kegilaan yang membawa kita ke pusat kegilaan yang sebenarnya gila. Sampai di sini aku ingin mengajakmu membeningkan hati dan mencerahkan pemikiran, sebelum melangkah pada perjalanan di lain dunia yang mungkin sejauh ini tidak ada atau belum ada dalam benakmu, agar kita bisa memetik kebermaknaan dari peristiwa yang telah, akan, sedang, dan mungkin saja akan terjadi.

 

Perasaan dan pikiranku ini kutuliskan untukmu pada suatu pagi yang sejuk dalam iringan melodi klasik instrumental Secret Garden dengan Steps-nya, Sina Vodjani dengan Rain of blessing-nya, dan Kitaro dengan Caravansari-nya. Mahasuci Allah, yang telah memberkati hamba-hambanya dengan kepekaan sehingga ia sanggup menemukan yang tersembunyi dan membahasakan yang terdalam. Dalam setiap petikan: jiwa-jiwa menari, dalam setiap gesekan: jiwa-jiwa beterbangan, dan dalam setiap getaran: jiwa-jiwa meregang ekstase kemabukan bisu. Semua muncul ke permukaan kesadaran tanpa kata. Angin lembut kurasakan memasuki jendela kamarku. Sesekali kuhirup cppucino dengan tenang di dalam musik. Setangkai bunga anggrek yang menempel di bibir jendela, kaligrafi kitab suci yang terpampang di dinding kamar, lukisan, jam dinding, dan semua yang ada di sekelilingku seakan-akan ikut berbahagia hari ini, hidup, dan menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan. Aku bergumam lirih: inilah kesederhanaan segumpal hati. Sungguh, aku tidak memiliki alasan untuk tidak bersyukur.

 

Fitrah El-Fairuz

Digoreskan sejak tadi pagi hingga sore hari

27 Nov. 2009

Tidak ada komentar: