Selasa, 24 November 2009

Cerpen

Laskar Matahari

sebuah cerpen Oleh fitrah el-fairuz

13 November 2009, 12;10 pm 

Aku terkesiap. Handphoneku tiba-tiba berdering nyaring malam itu. Aku lekas-lekas mengambilnya dan menampak siapa dan apa sms yang hadir.

Termaktub dengan jelas, kak, Sabtu 14 nov ad technical meeting Pospeda DIY jam 9 d dikpora DIY jalan cendana, bisa datang?

Insya Allah, dek. Balas sms-ku padanya berhajat ingin datang di technical meeting itu.

Dalam tempo dekat memang akan dilantaskan pekan olahraga pondok pesantren daerah. Sering orang-orang melisankannya “pospeda”. Fikri, seorang laki-laki tegar yang memangku semua cabang dalam pekan itu menunjukkan intensitas dan tanggungjawabnya atas almamater dan Kota Yogyakarta. Ia sangat disiplin, mengampu semua cabang serta pelatih-pelatih yang ada mengingatkanku dengan seorang petuah, Jim Rhon. Ia berkata “Discipline is the bridge between goals and accomplishments”. Fikri membuat matahari tetap berbinar, dan ia pula yang meng-sms-ku malam itu.

Sempat aku berfikir jika tak ada yang melakukan perubahan, kuyakin matahari tak akan aku pandangi lagi dari sebelah Timur dan akan tenggelam di Barat tepat di hadapan mataku.

Sebelumnya, aku telah merasa bagaimana technical meeting yang berlangsung. Kecurangan di segala arah tercipta dan membuatku reaktif akan segalanya juga tidak sedikit membuat amarahku meletup. Aku tetap tidak akan membisu jika kedzoliman itu terjadi dan iktikadku menuntut oknum-oknum yang bermanis muka dan mulut melancarkan nepotisme dalam lembaga sok suci itu. 

Aku lalu mengambil langkah hati-hati dan mempertimbangkan apa yang akan kusampaikan esok. Terkenang di fikiranku apa saja alasan-alasan yang dihadapkan denganku saat tuntutanku tertuju pada seorang wanita Dikpora pada Pospeda tahun lalu. “Akan aku tegaskan” Gumamku. Ingin aku sadarkan wanita itu bahwa “tak ada untungnya hidup di dunia jika engkau selalu berwajah materialistis dan melupakan Tuhanmu”. Ia tetap ngeyel.


14 November 2009, 09.10 am

Matahari cukup menyengat hari itu. Aku memasuki Dikpora, “Assalamu ‘alaikum” ujarku pada kedua satpam Dikpora sambil tersenyum. Segera aku parkir kendaraanku dan berjalan menuju ruang technical meeting.

Ruangannya dimana, dek?

Tanyaku pada fikri lewat sms. Tapi menjelang beberapa menit Fikri lalu menelepon “Di atas, kak!” dan aku tercengang melihatnya di hadapanku. Ia menelepon sambil menjemputku di guest room.

Aku menaiki tangga dan menuju ruang sebelah Barat. Tampaknya ruang itu adalah ruang technical meeting baru. Tak nampak seperti yang lalu walau letaknya sama, di Dikpora, dan aku berjumpa banyak wajah baru.

Hari ini pun, walau tak lagi kujumpai wajah wanita pendusta itu, aku dihadapkan dengan manusia-manusia baru juga wajah pendusta dan materialis. Aku langkahkan kakiku ke dalam ruang itu dengan menatap runyam wajah-wajah baru yang sedang duduk rapi membayankan ketentuan-ketentuan peserta yang dapat ikut serta Pospeda lewat tim verifikasi.

“Kak, saya duluan, ada ujian” tiba-tiba sejenak aku dan Fikri memasuki ruangan itu, Fikri pamit. “Ya” jawabku. Aku lalu duduk dan dengan teliti mendengar celotehan manusia-manusia dihadapanku. Katanya sih pejabat...

“Di aturan pusat ini menjelaskan bahwa yang dapat mengikuti pospeda hanya santri pondok pesantren mukim” tandas seorang lelaki berkemeja putih tapi tak jelas asmanya. “Berarti Muallimat dan Muallimin tidak boleh karena madrasah, bukan pondok pesantren” lanjutnya tersenyum.

Aku terperangah mendengarnya, aku cut paparannya dan bertanya dengan landasan empiris pospeda tahun lalu. Kusebut nama Bantul dan Kulonprogo yang tahun lalu membuat kelancungan di cabang tenis meja. “Kami memang meminta maaf, karena menggunakan atlet Popda pada Pospeda tahun kemarin dan tidak akan mengulanginya lagi” Ujar perwakilan Bantul yang saat itu tidak tampak jelas siapa namanya. Dengan wajah buram penuh khilaf mencoba jujur di hadapan para pelatih. Sempat aku bangga dengan orang itu akan tutur dan pengakuannya.

“Mengapa bapak mengangkat Muallimin dan Muallimat? Sedangkan Muallimin dan Muallimat juga sudah berbentuk pesantren”. Nadaku lantang dan menantang. “Iya pak, Muallimin dan Muallimat sudah berbentuk pesantren” ujar seorang pelatih senam berkaos kuning hitam mendukungku.

Saat itu juga seorang lelaki berpeci hitam berbicara dan mengomentari pernyataanku. Ia berharap agar semuanya diserahkan ke tim verifikasi meninjau layak atau tidaknya seseorang ikut pospeda. “aku tak yakin dengannya” gumamku mengeluh.

 

Mendekati satu jam paparan dan sedikit debat dengan pejabat. Tapi aku tak kunjung lega dengan jawabannya yang sebenarnya membuatku ling-lung. Aku berfikir “tim verifikasi belum melakukan peninjaun dan belum memiliki hasil verifikasi tapi technical meeting telah akan dilangsungkan juga pengundian regu di tenis meja dan cabang-cabang lain sudah akan dilantaskan”.

“Jelas, ada permainan. Akan serupa dengan tahun yang lalu.” tandasku.

To be continued.........

Tidak ada komentar: