sebuah cerpen oleh fitrah el-fairuz
1429 H
Sejak tadi pagi, setelah sholat id, Rahman tak kunjung menatap batang hidung orang-orang menyembelih hewan Qurban. Tak seperti biasanya, ia merasa sepi menjalani hari raya Idul Adha tahun ini. Orang-orang di sekitar rumahnya hanya duduk bisu dan sama sekali tak beranjak membantu remaja-remaja masjid yang sedang asyik menyembelih hewan qurban di halaman masjid.
“Kambing milik marwah sudah disembelih, Pa? marwah mengambil pisau di dapur. “Pa, yang menyembelih biar marwah, ya.....!!! lanjut Marwah, lalu ia memperlihatkan pisau dapur di tangannya kepada Rahman, ayahnya.
Pikir Rahman: Marwah, di usianya 5 tahun begitu bersemangat ingin menyembelih hewan qurban miliknya, sedangkan tetangga-tetangga dan sejawat-sejawat tak lagi bergairah.
Marwah seolah-olah menakut-nakutinya. Di tangannya terdapat sebuah pisau dapur tajam yang sewaktu-waktu bisa membahayakan dirinya. Rahman lalu mendekatinya “Pisau Marwah, papa yang pegang ya...nanti Marwah dan papa ke masjid melihat orang-orang menyembelih hewan qurban, ok!!!”. Bujuknya. “Tidak pa, biar marwah aja yang sembelih” Marwah tak ingin memberikan pisau dapur di tangannya dan mencoba lari dari bujukan ayahnya.
Sebenarnya, Rahman sangat bangga dengan anak perempuannya itu, melihat kondisi orang-orang di kampungnya tak lagi bergairah menghadapi Idul Adha. Marwah memberikan spirit dan inspirasi baru terhadapnya bahwa kadang angan-angan anak lebih bernilai dari orang-orang dewasa. Pikirnya: Nilai-nilai yang dibawa secara spontan oleh anak-anak, sebenarnya dapat mengajarkan orang-orang dewasa untuk lebih dewasa dari sebelumnya, tapi banyak yang sudah melupakannya dan nilai-nilai itu hilang begitu saja di tengah hembusan angin topan yang tak menyisakan sepercik embun pun, semuanya bersih, hilang. “Aku bangga padamu, nak”. Gumam Rahman terharu.
“Besok sholat id dimana, Pa?” tanya istri rahman menghentikan sejenak setrikaannya.
“Di lapangan dekat kampung”
“Potong Qurbannya besok?
“Terserah panitianya, ma. Kita ikut aja mereka.”
Istri Rahman lalu melanjutkan setrikaannya. Ia menyetrika baju Rahman yang akan dipakainya pada sholat id besok.
Saat itu, Rahman sedang menonton pertandingan sepak bola di ruang keluarga yang sebentar lagi akan usai. Ia kemudian mengambil remote tv lalu mematikannya.
“Papa ingat Marwah, ma...”
„Jangan di bicarakan lagi. Insya Allah Ia tenang di sisi-Nya.“ Istri Rahman melanjutkan pekerjaannya.
Raut muka Rahman terlihat sedih, hatinya galau, mencoba mengingat masa lalu yang sangat indah bagi hidupnya bersama Marwah. Marwah, anaknya, yang begitu bersemagat jika waktu idul qurban datang karena ia sangat senang dan bahagia melihat hewan-hewan qurban yang akan disembelih bahkan Marwah sendiri yang ingin menyembelihnya.
Pernah ia bertanya: “Pa, apakah tidak kesakitan mereka dipotong? Marwah kasihan, pa!”
“Marwah tidak perlu sedih karena hewan-hewan itu sebenarnya senang. Mereka akan bertemu dengan Allah dan mendapatkan surga, Marwah kenal surga kan!”
Marwah menjadi kenangan bagi Rahman. Marwah meninggal sebulan setelah Idul Adha tahun lalu. Ia tertabrak motor saat bermain-main di jalan depan rumah. Saat itu ia bersama teman-temannya dan tidak melihat motor berwarna hitam melintas dengan kecepatan tinggi dan menggilas Marwah. Marwah terlempar dan pengendara motor berkecepatan tinggi itu hilang. Tabrak lari yang membuat Rahman terkejut, sedih, dan istrinya pun sempat pingsan melihat Marwah yang bersimbah darah.
Sesekali Rahman mengingat anaknya, ia tampak sedih. Tak ada lagi yang menemaninya melihat orang-orang menyembelih hewan qurban dan bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya kagum terhadap Marwah. Tak ada lagi yang membuatnya semangat melirik masa depan dengan kecerdasan Marwah lewat ucapan-ucapan ringan khas anak-anak yang sangat bermanfaat bagi orang-orang dewasa yang membuat inspirasinya tidak pernah mati memahami hidup dan kehidupan.
Sempat juga ia berpikir bahwa ia akan menyekolahkan Marwah setinggi mungkin. Rahman optimis kelak Marwah bisa menjadi pemimpin bangsa dan menggantikan Megawati sebagai seorang presiden wanita satu-satunya di
Setelah kejadian itu, kadang-kadang ia bersih keras mencari tahu siapa yang menabrak Marwah tapi tak kunjung ia temui. Menghubungi aparat kepolisian pun sudah tak dipikirkannya lagi karena tidak akan menyelesaikan masalah, berlarut-larut dan tak juga akan ditemukan. Sejak itu, Rahman hanya selalu berdoa dan berharap agar anaknya diterima di sisi-Nya dan setiap Idul Adha Rahman selalu mengingat Marwah.
Ahad, 29 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar