Kamis, 14 Mei 2009


Kuasa Bahasa dan Mahalnya Kejujuran

Bahasa membentuk cara pandang manusia dan berfikirnya (Richard E Palmer). Bahasa dalam nergi kehidupan tidak dapat terpisah dengan konsepsi manusia sebagai makhluk. Bahasa menjadi kerajaan intelektual yang membentuk pemahaman mendasar dengan apa yang akan dikomunikasikan antar manusia.

Menyampaikan sesuatu membutuhkan bahasa dan bahasa telah menjadi ruang horizontal membandingkan karakter-karakter bentuk atau wujud. Karakter politisi yang lembut dan komunikatif membentuk bahasa yang sederhana dan mempunyai etika kultural juga eksis menjadi penyampai bahasa politik berkarakter sopan.

Jika politik inign diterima maka bahasa politik harus baik. Semboyan-semboyan politik yang tak berarti mengakibatkan gagalnya politik yang dilakukan. Nampak sebuah pemaksaan pencapaian cita-cita dengan bahasa yang tidak familiar di depan masyarakat. Palmer menegasikan bahwa “bahasa” merupakan mediasi dalam hidup dan keberadaan kita. Sama halnya dalam politik sebagai mediasi bahasa memiliki peran penting menyampaikan pesan-pesan politik

Namun yang terjadi sampai saat ini penyapaian bahasa politik tidak mendekati masyarakat secara moril akibat pemaksaan kehendak politik memiliki ruang tembak yang lebih besar dari pada kesadaran dalam etika berpolitik. Tidak ada lagi etika yang dielu-elukan para aktivis moral. Sehingga politisi-politisi yang tercipta sulit menyesuaikan diri dengan kehendak rakyat. Kehendak individu tak dapat menyatu dengan kehendak mayoritas.

Egosentrisme menjadi pemberat yang menambah berat bahasa politik terdengar baik. Bahasa menjadi peluru yang menembak manusia dengan ditemani egoisme politik yang berakar dalam. Kejujuran tak dapat lagi dibangun sehingga mengakibatkan kejujuran harus dibeli. Egoisme membentuk kohesi diri dengan rakyat dan kejujuran sangat mahal.

Bahasa ego adalah bahasa pelarian politisi ketika tertekan. Tidak ada lagi penangkal kuat yang menjaga ego keluar dari diri. Sehingga ego juga menciptakan bahasa tak teratur dalam hidup. Politisi era zaman ini menggunakan bahasa ego dalam ruang hampa politik yang tak bermoral.

“Menjajah” adalah bahasa kasar politisi dan sengaja diperhalus dengan menghilangkan atau anti kemiskinan dan kebodohan. Kita tak sadar dengan bahasa politik mungkin karena semuanya adalah kemungkinan. Semboyan “kami akan menghapuskan kemiskinan” adalah bahasa jujur para politisi yang ingin menjajah rakyatnya sendiri.

Disamping bahasa kasar ada bahas halus yang membutakan rakyat yaitu menghapuskan. Menilik lebih jauh menghapuskan bisa berarti menghilangkan yang jika diambil contoh kalimat menghilangkan nyawa maka itulah kerjaan politisi sekarang. Permainan bahasa yang susah dicerna dapat melegalkan eksistensi dirinya bergentayangan di panggung sandiwara politik.

Bahasa adalah mediasi paling sempurna dalam proses. Proses politik membutuhkan waktu, tenaga yang berkutik pada strategi khususnya bahasa. Kesempurnaan bahasa sebagai mediasi memberikan pendidikan negatif kepada para politisi yang tampak positif bagi masyarakat. Berkata bohong dan yang diperhalus dengan bahasa puitis dan memprihatinkan menyihir rakyat menjadi bola yang ditendang ke segala arah dengan mulut membisu.

Kejujuran menjadi barang yang diperjual-belikan dan tidak dijual dengan murah. Mahalnya kejujuran lewat kuasa bahasa negatif mendorong para politisi tidak konsisten dengan tebaran janji-janjinya. Kejujuran bukan lagi sebuah kata hati manusia melainkan telah menjadi romantisme kemunafikan saat politisi tertekan dan wajib melakukannya. Kewajiban itu dikarenakan proteksi atas kemunafikan agar tidak terdengar oleh publik.

Jika saja kuasa bahasa menjadi alat agar kejujuran dapat menjadi ritual dan kebiasaan hidup maka tak ada politisi yang hanya dapat bersilat lidah tanpa tahu seberapa sakit hati rakyat jika dikhianati. 

Fitrah


Tidak ada komentar: