Kampanye Terbuka: Ajang Membuka Kedok Partai
Oleh: Muh Fitrah Yunus
Lama waktu menanti ajang pemilu akhirnya semakin dekat. Kampanye tertutup sudah terbuka dan menjadi kampanye terbuka dimana partai saling bertarung menyampaikan visi dan misinya langsung di hadapan rakyat juga agenda-agenda realisasi ke depan kelak jika terpilih dan kader-kadernya duduk sebagai wakil rakyat.
Sesuatu yang sangat prihatin bagi masyarakat ketika kampanye terbuka dimulai partai-partai juga mulai memperlihatkan kegarangannya membuka kedok sebagai partai eksrimis yang suka dengan aksi kekerasan. Hanya sehari dalam kampanye terbuka kekerasan demi kekerasan terjadi di berbagai tempat. Tak heran jika memandang tujuan partai sebagai peserta politik yang haus dengan kekuasaan.
Haus
Semakin mendekati pemilihan parta-partai semakin haus kerjaan. Disamping mempersiapkan strategi mereka haus dengan darah manusia. Partai menjadi hantu yang menakutkan dan menjadi pembunuh berdarah dingin. Mengganggu fasilitas umum dan masyarakat merupakan agenda yang tak pernah hilang sejak dahulu.
Hal ini sangat mengecewakan dan memukul hati masyarakat. Ajakan untuk mencoblos dan agar tidak golput berdiri di setiap ruas jalan tapi tak ada koreksi diri bahwa dengan kekerasan-kekerasan yang dilakukan partai membuat masyarakat takut dan tak mahu lagi untuk memilih.
Disamping itu demokrasi yang diagung-agungkan semakin kabur. Masyarakat juga semakin tak percaya dan kekerasan-kekerasan gaya lama akan kembali terjadi. Mata dunia memandang bangsa ini akan hancur dan hilang dari peradaban.
Munculnya ekstrimisme di tubuh partai karena para anggotanya belum matang dalam memandang bangsa ke depan. Mereka mengira bahwa dengan memimpin negara dapat mensejahterakan rakyat tanpa melihat nilai-nilai budaya yang ada. Padahal budaya menjadi satu sisi yang sangat sensitif dengan bangkit dan semakin dinamisnya bangsa ini. Tapatnya mengedepankan etika selalu menjadi nlai yang menemani dalam langkah-langkah politik di Indonesia.
Pandangan Miopis
Ketidakmapanan pandangan para politisi mengenai bangsa yang diperlihatkannya lewat kekerasan mencoreng etika politk di negara ini. Banyak kalangan yang masih berpandangan miopis dengan keadaan. Tak dapat melihat secara utuh apa kebutuhan dan yang tidak dubutuhkan masyarakat. Para politisi hanya dapat melihat yang ada di sekitarnya melupakan bagian-bagian mikro dari yang makro.
Pandangan miopis terjadi karena kurangnya ilmu pengetahuan politik kekuasaan. Dimana politik kekuasaan dicerna sebagai “what I can get and how much?” bukan “what I can response and give”. Hal ini ditunjukkan dengan jelas bagaimana aksi-aksi kekerasan perebutan nomor urut calon sebelum disepakatinya aturan main terbaru.
Implikasinya akan semakin buruk jika orang-orang seperti ini memenangkan pemilu dan menjadi pengambil kebijakan dalam birokrasi. Otoritas pemerintahan disalahartikan. Mengutip Roesseau bahwa konsep otoritas pemerintahan semakin tidak jelas karena minim pengetahuan tentang otoritas pemerintahan dan Rosseau lebih jauh bahwa mereka hanya mengambil bagian-bagian yang merupakan emanasi dari otoritas tersebut.
Dari semua kekurangan-kekurangan itu sebaiknya aktivitas-aktivitas politik yang berawal dari kampanye terbuka kemarin tidak menjadi catatan hitam dan legitimasi masyarakat semakin kurang. Moral dan etika politik harus dikedepankan juga kekompakan sosial semakin hidup dan tumbuh dalam segala lini.
Jean Jacques Roesseau mengatakan bahwa seluruh sistem sosial harus diletakkan dengan benar. Bahwa kekompakan sosial tidak hanya menghancurkan ketidak-seimbangan alamiah tapi juga menggantikannya dengan sebuah keseimbangan yakni moral dan legitimasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar