Suu Kyi, Thatcher, Negara dan Televisi
Sebagai akademisi, politikus maupun ekonom pasti tahu akan siapa margareth thatcher. Margareth thatcher adalah mantan PM Inggris yang mengumandangkan agar neoliberalisme-sebuah paham yang lahir dari rahim kapitalisme-diaplikasikan sebagai sebuah langkah terbaik terbentuknya full employment dalam negara.
Dengan paham ekonomi laissez-faire, budaya konsumerisme Thatcher menganggap bahwa tidak saatnya negara (pemerintah) mengambil langkah penting untuk mewujudkan full employment yang dicita-citakan melainkan pasar bebas-lah yang harus merampungkannya.
Lebih jelas Margareth Thatcher (Noreena Hertz, 2005) mempraktikkan neoliberalisme dengan cara negara menghapus kewajibannya memikul tanggung jawab terhadap rakyat yang menganggur atau tidak produktif, mengurung komitmen pemerintah mewujudkan Full employment, memangkas secara radikal subsidi sosial. Lantas apa tugas pemerintah? Pemerintah hanya harus mementingkan pelayanan terhadap swasta, melakukan pemotongan pajak, menjalankan program swastanisasi dan liberalisasi, menghilangkan pengawasan terhadap telekomunikasi, transportasi, perikanan dan pengawasan terhadap penyiaran.
Khususnya pada problem penyiaran televisi di
Program televisi telah menjadi media pendidik sekaligus media yang menjembatani rakyat menuju krisis moral. Walau terdapat program yang mendidik tapi tak dapat melebihi program uneducated-nya. Mengapa demikian? Tidak lain disebabkan karena konsumsi terhadap tayangan amoral lebih disukai dari pada berakhlak. Oleh karena konsumsi amoral lebih banyak maka perusahaan penyiaran berkedok kapitalisme meresponnya sebagai ladang material high-profit. Apa keuntungannya bagi negara? Negara dapat memberlakukan pajak dan mendapatkan pemasukan dari pajak tersebut. ironisnya, seperti kasus kekayaan alam yang dikelola perusahaan asing, negara dengan mental inlander disuguhi duit yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan penyiaran televisi padahal keuntungan penyiaran itu juga dari rakyat plus rakyat juga yang mengalami demoralisasi.
Apa yang dikumandangkan Thatcher lebih didengar pemerintah dari pada rakyat. Dengan mengekspor kapitalisme Thatcher berpendapat bahwa sekarang saatnya swasta yang mengambil alih berbagai sektor begitupun penyiaran, pemerintah (negara) harus menjadi pengawas atas berputarnya roda-roda swasta (kapitalis). Ironi selanjutnya bahwa mengapa pemerintah mengikuti pendapat Thatcher? Pemerintah ikhlas dijadikan yang saya sebut watch dog (anjing penjaga) bagi pebisnis.
Thatcher adalah penjahat kapitalisme. Jelas bahwa pendapat thatcher tidak hanya me-re-uniform negara kita menjadi negara kapitalis tapi sekaligus menyeragamkan rakyat menjadi bangsa amoral lewat penyiaran televisi yang tidak mendidik. Negara ini perlu berkaca pada Aung San Suu Kyi yang mengatakan (Noreena Hertz, 2005): “Jika kemajuan materi dicari dengan cara menyakiti jiwa manusia, semakin lama hanya dapat menyebabkan penderitaan manusia yang lebih besar. Kemungkinan yang sangat besar bahwa sebuah ekonomi pasar dapat terbuka ke negara-negara yang sedang berkembang bisa direalisasikan, hanya jika perbaikan ekonomi dilakukan dalam kerangka kerja mengenal kebutuhan manusia. Ada yang mengklaim bahwa rakyat Birma menderita sebagai konsekuensi dari sanksi, namun itu tidak benar. Kami menginginkan investasi berada pada waktu yang tepat -ketika keuntungan mengalir ke rakyat Birma, tidak hanya sekelompok elit kecil dan pilihan yang berhubungan dengan pemerintah”.
Negara kita perlu mendengungkan seperti apa yang dikatakan Aung San Suu Kyi, kemandirian harus menjadi fokus utama bangsa dan negara tidak lagi dijadikan watch dog bagi perusahaan penyiaran televisi berkedok kapitalisme. Semoga!
Fitrah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar